|
Suasana Kartinian Ibu-ibu Rt 06 |
Memperingati Hari Kartini setiap tanggal 21 April tampaknya masih tetap menarik dan relevan. Ada pendapat bahwa emansipasi wanita sebenarnya bukan persoalan lagi di Jawa (khususnya Jawa Tengah) justru di tempat ini pada abad keenam Masehi, memiliki seorang kepala pemerintahan (kerajaan) seorang wanita bernama Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga. Jauh waktu itu kesetaraan hak antara wanita dan pria tidak menjadi persoalan, terbukti sebuah kerajaan yang ada waktu itu dipimpin oleh seorang wanita; namun memasuki abad kolonialisme dan feodalisme pranata yang pernah menjadi milik bangsa ini terkikis dan kembali otoritas wanita terpinggirkan sehingga muncul seorang tokoh wanita bernama Kartini yang memunculkan dan menggugat persoalan emansipasi wanita ke permukaan.
Betapapun, sebagai tradisi sekaligus penghargaan atas jasa-jasa Kartini, peringatan tersebut tetaplah perlu dipertahankan sebagai salah satu tonggak bagi bangsa ini; bahwa setiap pencapaian tidak datang begitu saja; ia melewati berbagai proses waktu dan perjuangan yang panjang di masa lalu. Karena itulah, kita tidak dapat begitu saja menafikan jasa-jasa Kartini dalam memperjuangkan emansipasi tersebut.
|
Lomba Saling Merias Wajah |
Memeringati Hari Kartini di Rt 06 atau Kartinian di rukun tetangga ini dilaksanakan secara sederhana namun banyak menyiratkan makna. Lomba karaoke misalnya, seakan sesuatu yang biasa saja dan itu banyak terjadi di mana-mana; namun ketika hegemoni "dugem" yang selama ini seakan menjadi dunia malam para lelaki untuk menghibur diri usai pulang kerja, kadang hingga larut malam bahkan dini hari di bar atau kelab malam sambil minum-minum, kini telah dipindah ke suasana rumah tangga menjadi sesuatu yang dapat mencairkan prasangka-prasangka kaum ibu rumah tangga; bahwa karaoke adalah karaoke, intinya berisi aktivitas menyanyikan lagu yang disukai dan itu sangat berguna untuk meredakan ketegangan kehidupan rutin dan sehari-hari. Apalagi bila orang tua dan anak juga dapat melaksanakan bersama-sama atau secara bergantian. Maka sangat menarik tawaran dari
Pak Tri -- Bapak RW XIII yang baru -- yang mempersilakan bagi warga setempat yang ingin belajar atau memanfaatkan fasilitas miliknya untuk melancarkan keterampilan tersebut, secara cuma-cuma.
Lomba saling merias wajah, lomba meracik bumbu dengan mata tertutup adalah persoalan insting estetik yang umumnya melekat secara alamiah pada diri wanita. Upaya mendorong keterampilan tersebut tampak sebagai sentilan halus bagi kaum wanita sendiri agar tetap memiliki kebanggaan dan kebahagiaan bahwa betapapun maju posisi dan karier seorang wanita hendaklah tidak melupakan kodrat alaminya sebagai wanita.
|
Meracik Bumbu dengan Mata Tertutup |
Wawasan mengenai apa-siapa Kartini juga sempat disinggung sekilas lewat pertanyaan-pertanyaan ringan
Ibu Yoyon, Bu Rt 06, setidaknya dapat menambah wawasan agar kita semua memahami mengapa setiap tanggal 21 April para wanita Indonesia perlu merayakan Hari Kartini.
Artikel tentang Kartini
Kartini dari Emansipasi Hingga Kontroversi
|
RA Kartini |
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April
1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun)
atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, adalah seorang tokoh
suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor
kebangkitan perempuan pribumi.
Biografi
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi
atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati
Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya
bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono,
seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini
dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang
bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah
lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.
Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara
menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan
tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere
School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah
usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia
mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang
berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak
mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada
kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
Kartini bersama suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat
(1903).
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief
yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang
diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan
dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De
Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya
dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca
apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang
Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya
tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan
Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua
kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian
karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang
saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman
anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati
Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah
memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya
mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan
sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten
Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir
pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904,
Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu,
Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah
Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya,
Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut
adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga
Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan
membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya
di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang
arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat
Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan
pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa
Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang:
Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun
1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang
sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk
menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya.
Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam
bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu,
surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan
Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi,
sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini
mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi
inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R.
Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya
tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin
wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan
cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf-
vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan
Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh
pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella"
Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda
Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat,
yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini
dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa
kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia
mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada
agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling
menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi
berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini
mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki
untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang
dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang
kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa
yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah
menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap
saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun
ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan
Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan
Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke
Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya
mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya
Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya
kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun,
niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah
surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia
sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak
mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..."
Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian
Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan
membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah
bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini
menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk
mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi
juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah
lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi,
bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi,
dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini
ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Buku
Habis Gelap
Terbitlah Terang
Pada 1922, oleh
Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan
judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh
Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru,
tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis
Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku
Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda
dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan
Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini
juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane
menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku
sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab
pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau
perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi
baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat
87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak
dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot
Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk
menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane,
surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini
pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke
dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Surat-surat
Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing
di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini
tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda
dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan
Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan
surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya
menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan
Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba
sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan
Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door
Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam
buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Letters from
Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Buku lain yang
berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya
Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa
ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan
Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from
Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada
Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di
dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Panggil Aku Kartini Saja
Selain berupa
kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga
diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya
Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari
pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Kartini Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987,
Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya
lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon,
diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan
sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding
perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902,
dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai
pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut,
yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[3] Dalam kumpulan
itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian
itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang
dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Aku Mau ...
Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903
Sebuah buku
kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk
memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini.
Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul
Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau
..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang
selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini
berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Kontroversi
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini.
Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu,
merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku
Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di
Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung
politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak
diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan
J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga
agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak
hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu
pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan
pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita
lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina
Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini
itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul
senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan
dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai
alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang
tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja,
melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya
tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah
melingkupi perjuangan nasional.
Peringatan Hari
Kartini
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Nama Jalan di Belanda
Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini
atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan utama, berbentuk 'U' yang
ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama tokoh
perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara, Agostinho
Neto.
Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A.
Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di sekitarnya terdapat
nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde Wibaut.
Amsterdam: Di wilayah Amsterdam
Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini
ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh dunia yang
punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella
Richaards.
Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini
berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke
jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik Maluku Selatan. (Wikipedia)
0 komentar:
Post a Comment